Saiful Ma'ruf

Wajah Negara Islam

Wajah Negara Islam

Islam tidak pernah memaksakan seseorang dan tidak pula disebarkan lewat tajamnya pedang, sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Islam. Islam mensyariatkan perang, untuk menyingkirkan thaghut-thaghut yang menghalangi jalan dakwah ke rakyat dan penduduk. Setelah thaghut-thaghut ini disingkirkan dan dakwah Islam dikumandangkan, permasalahannya terserah kepada rakyat, apakah mereka mau menerima Islam, ataukah tetap pada agamanya sendiri, tapi ia harus tunduk sebagai ahlu dzimmah.
Tendensi dakwah Islam semacam ini dikuatkan dengan perkataan Rab’i bin ‘Amir di hadapan Rustum, pemimpin pasukan Persia, “Kami diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan makhluk ke penyembahan Allah, dari dunia yang sempit ke dunia yang lapang dan dari kesewenangan agama ke keadilan Islam.”
Mengenai jizyah yang harus disetorkan oleh ahli dzimmah, bukan dimaksud untuk memberi penekanan-penekanan tertentu agar mereka mau masuk Islam, sekali-kali tidak, jizyah itu sebagai pengganti dari tanggung jawab dan jerih payah orang-orang Islam untuk melindungi mereka.
Kebebasan yang diberikan kepada orang-orang yang ditundukkan kaum Muslimin untuk memilih masuk Islam ataukah membayar jizyah, merupakan bukti yang kuat, jelas dan gamblang bahwa Islam melarang mengetrapkan kultur paksaan.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (Al-Baqarah: 256).
Orang-orang yang membayar jizyah kepada pemerintah Islam dinamakan ahlu dzimmah. Mereka berhak menerima hak dan jaminan seperti yang diterima oleh orang-orang Islam. Salah seorang gubernur pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada beliau yang isinya menerangkan bahwa ahli dzimmah yang baru masuk Islam justru lebih berbahaya kalau seandainya mereka tidak dibebani jizyah. Maka dengan dasar pikiran semacam ini, ia tetap menarik jizyah meskipun ada ahli dzimmah yang sudah masuk Islam.
Setelah membaca surat tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mengirim surat yang isinya: “Allah memburukkan pendapatmu itu. Karena sesungguhnya Allah tidak mengutus Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam sebagai pemungut pajak. Tapi beliau diutus untuk memberi hidayah. Apabila suratku ini telah kau baca maka segera batalkan jizyah itu bagi ahlu dzimmah yang telah masuk Islam.”
Abu Yusuf menyebutkan dalam bukunya bahwa Umar bin Khathab bertemu dengan seorang tua ahlu dzimmah peminta-minta di pintu masjid untuk membayar jizyah, demi kebutuhannya, Umar berkata kepada orang tua itu, “Kami akan berbuat adil terhadapmu, kami bebaskan setelah kamu tua.” Kemudian Umar membawa orang tersebut ke Baitulmal, lalu diberinya kebutuhan secukupnya dan ia dibebaskan dari pembayaran jizyah. Lebih lanjut hal ini dikuatkan lagi dengan pengakuan-pengakuan beberapa orang yang pernah mempelajari Islam secara benar. Dalam bukunya “Dakwah kepada Islam”, Arnold Toynbe seorang guru besar berkata, “Setelah pasukan tentara Islam yang dipimpin Abu Ubaidah sampai di lembah Urdun, para penduduk yang beragama Kristen yang menetap di situ menulis surat yang ditujukan kepada orang-orang Arab yang beragama Islam itu, yang berbunyi: ‘Wahai semua orang Islam, kalian lebih kami cintai daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati janji, bersikap lemah-lembut kepada kami, mencegah kesewenangan yang menimpa kami dan mau menjaga diri kami. Tapi orang-orang Romawi itu menindas kami dan bumi kami.’
Para penduduk kota saling menutup pintu masuk agar tentara Heraclius tidak menjarah. Mereka menyampaikan kabar kepada orang-orang Islam bahwa mereka lebih senang dengan orang-orang Islam dan keadilan mereka daripada kesewenang-wenangan orang-orang Greek itu. Segala pikiran dan tuduhan bahwa peranan pedanglah yang telah mengubah manusia masuk Islam, jelas merupakan tuduhan yang jauh dari benar. Dakwah dan pemuasan merupakan dua faktor esensial tersebarnya dakwah Islam, dan bukan karena kekuatan dan kekerasan.”
Crustav Loban juga mengeluarkan kata-kata yang sangat terkenal, “Sejarah manusia tidak mengenal penakluk yang adil dan lebih lemah lembut kecuali dari orang-orang Islam.” Itulah sebagian kecil hak-hak yang telah diberikan kepada ahli kitab Yahudi dan Nasrani yang hidup di bawah perlindungan Negara Islam. Suatu hak yang tidak akan didapati dalam agama samawi lain, atau undang-undang dan tatanan yang dibuat oleh manusia sepanjang zaman.
Sejarah Islam mengungkapkan kepada kita bahwa Rasulullah Muhammad SAW telah berjuang semaksimal mungkin dengan mengerahkan kekuatan dan pikiran, yang ditopang hidayah wahyu, untuk mendirikan Daulah Islam atau negara bagi dakwah beliau serta penyelamat bagi para pengikut beliau. Orang-orang yang beriman tidak cukup hanya beriman saja, melainkan harus berhijrah dan berjihad memperjuang-kan tegaknya Dienullah dengan mengumpulkan segenap kekuatan dan kekuasaan. Negara adalah bentuk konkrit dari kekuatan dan kekuasaan itu. Kekuasaan itu sangat ajaib. Kita bisa berbuat apa saja dengan kekuasaan. Namun hanya kekuasaan yang berdasarkan Islam sajalah yang dapat dijamin akan memuaskan semua orang. Tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas manusia kecuali, mengutip istilah Yusuf Qardhawy , “kekuasaan syariat.” Banyak orang menyebut kekuasaan berdasarkan syariat ini sebagai “theo-demokrasi” atau “demokrasi Islam” atau apa saja. Namun, di Indonesia, S.M. Kartosoewirjo secara tegas menyatakan bentuk kekuasaan itu sebagai negara Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah atau suatu Ad-Daulatul Islamiyah atau dengan sebutan Darul Islam yang secara nasional dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia.
Dalam mewujudkan Darul Islam pada masa Rasulullah SAW, beliau sendiri yang mendatangi berbagai kabilah, agar mereka beriman kepada Allah SWT dan mendukung untuk ikut menjaga dakwah beliau, hingga akhirnya Allah menganu-gerahkan “Anshar” dari kalangan Bani Aus dan Khazraj, yang beriman kepada risalah beliau. Kaum Anshar adalah “rakyat yang mendukung perjuangan tanpa ikut berhijrah secara fisik bersama-sama beliau.” Tatkala Islam mulai menyebar di kalangan mereka, maka pada suatu musim haji datang utusan dari mereka yang terdiri dari tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua wanita, lalu mereka ber-bai’at kepada beliau, menyatakan kesediaan untuk melindungi beliau sebagaimana mereka melindungi diri sendiri, isteri dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan kepada yang ma’ruf (perbuatan yang baik), mencegah dari yang mungkar (perbuatan yang tidak baik) dan seterusnya. Mereka melakukan sumpah setia (baiat) untuk berjihad atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya sekedar sebagai upaya untuk mendirikan masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah Islam yang juga berdiri sendiri.
Madinah menjadi “Darul-Islam” (wilayah Islam) dan pijakan daulah Islam yang baru, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Beliau menjadi komandan tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka, sebagaimana beliau menjadi Nabi dan Rasul Allah yang diutus kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW mendirikan Negara Madinah, tidak ada satu orang pun yang menapak tilas semangat jihad Rasulullah SAW di Indonesia ini selain S.M. Kartosoewirjo. Ia adalah ulama besar dan negarawan sejati yang teguh hati dan jujur mulai dari pemikiran. Di Indonesia, pada abad ini, Darul Islam didirikan ulang oleh S.M. Kartosoewirjo dengan nama Negara Islam Indonesia (NII) yang memiliki kekuatan asykariah bernama Tentara Islam Indonesia (TII) atau Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII).
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Al-Qardhawy, “Bergabung ke dalam daulah ini untuk mendukung kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad di bawah panjinya merupakan keharusan bagi siapa pun yang masuk Islam.” Selan-jutnya, Yusuf Al-Qardhawy mengatakan, “Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia ikut hijrah ke dalam wilayah Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan yang memusuhi Islam. Imannya belum dianggap sempurna kecuali setelah dia ikut dalam barisan jama’ah orang-orang Mukmin yang berjihad dan yang menjadi sasaran serangan seluruh dunia saat itu.” Allah befirman,
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72).
Allah juga befirman tentang sikap atau respon yang harus diberikan kepada orang-orang yang tidak berhijrah ini,
“Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka penolong-penolong (kalian), hingga mereka berhijrah kepada jalan Allah.” (An-Nisa: 89).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan diatas, sebagaimana dikatakan Yusuf Al-Qardhawy, memberikan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang lebih suka memilih hidup di wilayah orang-orang kafir dan wilayah perang, tanpa mau mendu-kung penegakan agama dan melaksanakan kewajiban serta syiarnya. Maka jika masih memilih untuk tetap tinggal di negara kafir tidak ada kewajiban menolong orang-orang Mukmin yang disakiti, yang dibantai atau yang dizalimi. Begitu juga sikap yang diperlihatkan oleh Darul Islam, mereka tidak akan pernah meminta bantuan dari orang-orang yang tidak mau berhijrah ke Negara Islam Indonesia atau Darul Islam yang pernah didirikan oleh S.M. Kartosoewirjo yang masih ada hingga sekarang ini. Oleh karena itu, dalam sikap bara’ah-nya, Darul Islam tidak akan pernah membantu partai-partai Islam, apalagi yang sekuler, jika mereka tidak mau berhijrah atau setidak-tidaknya menjadi “kaum Anshar” dalam jihad untuk menegakkan hukum-hukum Allah di bumi Indonesia ini.
Banyak sikap yang ditunjukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Islam atau banyak orang-orang yang mengaku beriman terhadap Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa “Tidak ada Negara Islam” atau “Islam bukan negara”, ada juga yang mengatakan “Tuhan tidak menyuruh kita mendiri-kan Negara Islam”, atau ada pandangan yang menyebutkan bahwa “Tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan keharusan atau kewajiban mendirikan Negara Islam.” Semua itu adalah usaha-usaha untuk menutupi cahaya agama Allah. Bahwa agama Allah, agama Islam, seakan-akan tidak mencakup semua segi kehidupan. Seakan-akan politik bukan bagian dari urusan Islam. Atau dengan cara yang sangat licik, ada beberapa ulama suu’ yang mengatakan bahwa Negara RI yang berdasarkan Pancasila atau Negara Pancasila adalah Negara Islam, jadi perjuangan sudah final sehingga tidak perlu lagi memperjuangkan tegaknya Negara Islam di Indonesia. Berbagai cara ditempuh agar Daulah Islamiyah hilang dari muka bumi dan umat Islam berada dalam keadaan gelap gulita selamanya. Inilah ulah para elit penguasa atau kaum intelektual yang pekak, buta dan tuli terhadap realitas sosial Indonesia yang berkem-bang saat ini, yang tidak melihat pembantaian umat Islam di mana pun di dunia ini sebagai satu tanda perlunya negara ini diganti ideologinya dengan ideologi Islam. Setelah kita memiliki Negara Islam, baru wilayah-wilayah lain di mana umat Islam dibantai harus segera diperangi satu per satu dan kemudian menundukkan negara-negara kafirin lainnya yang tidak mau tunduk atau taslim pada sistem Allah.
Pada masa reformasi sekarang ini, di mana ideologi ‘kiri radikal’ bangkit melalui berbagai partai-partai sekuler dan corong-corong media massa yang mereka miliki, maka dakwah yang paling penting adalah “bagaimana mengubah ideologi negara” dengan ideologi Negara Islam. Kita berharap, dengan “dakwah siyasah” ini, maka pada milenium ketiga yang akan kita jelang beberapa saat lagi adalah milenium Negara Islam. Negara Islam Indonesia adalah Ad-Daulatul Islamiyah yang merupakan bentuk negara Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah yang tegak setelah rakyat mengalami: kezaliman, penindasan, ketidakadilan, kesusahan, dan berada di bawah penguasa yang mengumbar janji-janji kosong.
Hal ini sudah lama diramalkan oleh empat tokoh wali abad XIX di Aceh yang berbentuk kasyaf yang berisi nasihat menghadapi “zaman edan” yang semakin anarkis akhir-akhir ini bagi rakyat Indonesia. Surat wasiat amanat yang —menurut sejarawan Ibrahim Alfian sangat tinggi nilainya dan penting artinya— ditulis pada 12 Rabiul Awwal 1283 H (14 Juli 1866 M), pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Isi amanahnya adalah sebagai berikut:
“Bahwa dalam lslam dunia ini mulai pada masa zaman dahulu dan pada masa zaman sekarang hingga pada zaman akan datang turun menurut yang sangat dihajat dan diharap oleh sekalian ummat manusia yaitu pertama-tama adil hukum dan kedua aman negeri dan ketiga senang rakyat dan keempat makmur dan kelima perjanjian dan pelajaran nasihat yang benar lagi teguh. Maka yang sangat dibenci dan amarah sakit hati sekalian ummat manusia, yaitu pertama zalim dan kedua tidak ada keadilan dan ketiga memberi susah atas rakyat dan keempat tidak memperbuat makmur dalam negeri, dan kelima mengubah janji dengan rakyat dan pelajaran nasihat yang tidak baik dan teguh setia. Maka dengan sebab lima perkara tersebut ini maka jadilah huru-hara dalam alam dunia ini timur-barat tunong (utara) barĂ´h (selatan), yaitu keluar sekalian perbuatan yang mungkar, dengki dan khianat dan tamak dan hasutan fitnah. Maka Allah Ta’ala Tuhan Rabbul Alamin menurunkan bala yang bermacam-macam, tetapi manusia pada masa itu tidak memikir dengan seluas-luas dan dengan faham yang mendalam. Pegang olehmu agama Islam yang suci lagi benar, selamat dunia akhirat, dan taat setialah pada qanun syara’ (Undang-undang Dasar) Kerajaan Al-Jumhuriyah Al-lndonesiah dan jangan sekali-kali bughat yakni durhaka melawan Kerajaan Al-Jumhuriyah Al Indonesiah yang sah dan jangan sekali-kali dalam kerajaan mendirikan lagi kerajaan dan dalam negeri mendirikan negeri. Maka ingat jangan membikin pecah-belah ummat manusia dalam satu-satu kerajaan yang sah dengan keputusan ijma’ mufakat alim ulama yang ahli sunnah wal jama’ah dan sekalian orang yang besar-besar yang cerdik ahli akal bijaksana faham luas dan fikiran yang tajam dan mendalam dan jernih hati dan sehat otak dengan dingin beserta rakyat yang terbanyak. Maka inilah yang mu’tamad saheh sah benar. Maka yang diluar yang tersebut ini, maka itulah bughat, maka tiap-tiap bughat berhak mesti Kerajaan Al-Jumhuriyah Al-Indonesiah menghancurkan dan menghilangkan dan melenyap-kan tiap-tiap bughat walau siapa-siapa sekalipun. Jangan diam. Wassalam.”
Di dalam buku ini saya menggambarkan betapa hanya Darul Islam sajalah yang telah “menumpahkan darahnya” untuk memperjuangkan tegaknya Daulah Islamiyah di Indonesia. Tidak satu pun gerakan yang radikal yang berusaha untuk menegakkan kalimatillah di muka bumi ini secara lebih sistematis. Mereka adalah orang-orang yang anti perjanjian kompromistis dengan kekuatan-kekuatan bathil. Sebagaimana digambarkan oleh M. Isa Anshari, orang-orang Darul Islam adalah orang-orang yang tidak mudah dibujuk, tidak mudah dikalahkan, dan tidak pernah mau berkompromi dengan segala kemunafikan:
“Mereka orang pergerakan, orang perdjuangan. Mereka orang jang sangat fanatik, tak mudah dikalahkan.Mereka orang jang ,,konsekwen”, tak mudah dibudjuk. Mereka menamakan diri kaum proklamator, anti imperialis dan kapitalis. Mereka anti KMB, tak boleh ditawar. Haluan politiknja lebih kiri daripada kiri. Lebih radikal dan revolusioner dari orang lain. Karena fanatiknja, ,,membang-kang” tak sudi bertolak angsur. Karena revolusionernja, tak sudi menjerah-kalah, bertekuk lutut kepada ,,lawan”. Warna mereka berlain-lain. Tjoraknja berbeda-beda. Ada jang merah, ada jang hidjau. Tapi perdjuangannja paralel, sedjalan. Bukan setudjuan dan seasas. Pada pokoknja mereka mempunjai kejakinan. Kejakinan politik. Kejakinan perdjuangan. Tempo2 kejakinan itu merupakan “mistik”. Perdjuangannja jang mistik itu, tidak lagi berdasarkan perhitungan akal dan pikiran. Tetapi berdasarkan kejakinan mistik, kebatinan halus jang berpegang kepada jang ghaib, tidak berdasarkan perhitungan alam jang sjahadah. Jang demikian itu adalah Darul Islam, jang telah mendjadi buah tutur orang banjak itu. Itulah kaum jang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Lepas dari Republik Indonesia. Mereka mempunjai Undang-undang Dasar sen-diri, terdiri dari 34 fasal. Mereka mempunjai tentara sendiri, bernama Tentara Islam Indonesia. Apa dan bagaimana kejakinan politiknja? Apa dan bagaimana kejakinan perdjuangannja? Mari kita ikuti analisa-kupasannja tentang djalannja revolusi Indonesia.”
Dalam penerbitan buku kali ini, kami baru dapat menghadirkan analisis pemikiran S.M. Kartosoewirjo dengan mengambil beberapa kutipan dari sekian banyak karya besar Sang Proklamator Negara Islam Indonesia tersebut. Berhubung semakin dekatnya waktu pelaksanaan pemilu dan begitu gencarnya arus kiri dalam mengadakan aksi propagandanya untuk menghadirkan ideologi sesatnya di bumi Indonesia yang mayoritas Muslim. Sehingga perlulah kami menyegerakan penerbitan buku ini yang seyogyanya disertai dengan lampiran terlengkap tulisan-tulisan baik berupa artikel-artikel maupun buku karangan langsung S.M. Kartosoewirjo. Di antara karya-karya beliau adalah sebagai berikut:
1. Artikel-artikel di Harian Fadjar Asia dari tahun 1929-1930, sebanyak tiga puluh delapan buah.
2. Brosoer Sikap Hidjrah PSII.
3. Sikap Hidjrah PSII, jilid 1.
4. Sikap Hidjrah PSII, jilid 2.
5. Daftar Oesaha Hidjrah PSII.
6. Artikel di Madjalah Soeara PSII.
7. Artikel di Madjalah Soera MIAI.
8. I’tibar Ma’ani dan Madjazi daripada
9. Perjalanan Isra’ dan Mi’radj Rasulullah SAW.
10. Pedoman Dharma Bakti, jilid 1.
11. Pedoman Dharma Bakti, jilid 2.
12. Haloean Politik Islam.
13. Tulisan yang berjudul “Menjongsong Ad-Daulatul Islamiyah” di dalam buku Sebuah Manifesto karya M. Isa Anshari.
Dan, buku Pengantar Pemikiran Politik Proklamtor Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo ini tidak disertai tulisan-tulisan tersebut dengan pertimbangan agar lebih cepat terbit untuk mengantisipasi gerakan-gerakan “radikal-kiri”, seperti: Komu-nisme, Sosialisme atau Sekulerisme lainnya yang saat ini sudah sedemikian parah dan menyakitkan umat Islam. Kampanye mereka harus dipatahkan oleh perlawanan “radikal-kanan” atau Darul Islam yang selama hampir seabad ini menjadi “predator alam” bagi mereka. Bagaimanapun, mengutip istilah Pram, dengan segala kemampuan dan ketidakmampuan kita telah melawan.
Selama lebih kurang tiga puluh dua tahun umat Islam Indonesia melakukan perlawanan bersenjata maupun tidak bersenjata berada dalam penindasan Orde Baru yang dipimpin oleh rezim otoriter Soeharto. Bentuk-bentuk penindasan itu sangat beragam, dari pembantaian rakyat, ulama hingga pemenjaraan tokoh-tokoh politik dan aktivis yang memperjuangkan tegaknya Negara Islam di bumi Allah ini. Ketika gelombang demokratisasi dan gerakan reformasi mencuat di tengah-tengah kebekuan politik, Soeharto terpaksa turun dari kursi kekuasaannya. Maka sejumlah tokoh pun berkoar dan menguak semua kebohongan penguasa. Maka terungkaplah sisi-sisi gelap penguasa yang telah membantai umat Islam di Aceh, Lampung, Haor Koneng, Tanjung Priok, bahkan hingga kepada kekerasan negara di Kupang, Ketapang, Ambon, Tual, dan Sambas. Umat Islam hidup di tengah-tengah sistem yang zalim; menjadi domba yang lemah dan tak berdaya di tengah-tengah kawanan serigala.
Namun, di tengah-tengah suasana reformasi yang anarkis ini, ada seberkas cahaya yang dipendarkan oleh beberapa ilmuwan dan ahli sejarah yang membongkar kembali semua manipulasi sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dan Orde Lama Soekarno. Sejarah mulai terluruskan kembali. Sejauh ini upaya perekaman catatan-catatan sejarah dan pelurusan kembali sejarah pergerakan umat Islam berjalan sangat lamban. Kesibukan mengejar ketinggalan dari gerakan-gerakan reformasi telah justru tidak menyisakan perhatian kepada nasib anak bangsa sendiri. Buku ini berusaha mencoba merekam kisah-kisah yang rasional maupun yang terjadi secara tidak logis yang dialami oleh para pejuang Islam di Indonesia. Bahkan, banyak karomah yang tidak masuk akal terjadi dan juga banyak kisah-kisah kekejaman yang menyelimuti perjalanan dakwah mereka serta kisah-kisah lucu menyangkut sosialisasi dan hubungan para tahanan dan narapidana Islam dengan aparat militer selama berlangsungnya masa tahanan tersebut. Ketakutan, kelucuan, humor dan kesedihan yang mereka alami bercampur-aduk menjadi satu. Namun uniknya, tidak ada satu pun yang merasa menyesal dan menyimpan dendam terhadap tentara Orde Baru. Seakan mereka menyadari bahwa tentara hanyalah alat penguasa yang bekerja tanpa kesadaran. Bahkan, karena sikap mulia para mujahidin Darul Islam selama berada dalam tahanan, tidak sedikit tentara yang kemudian simpati dan mendukung ideologi para tapol/napol. Hanya Islam yang mengajarkan kepada manusia bagaimana menghargai hidup ini dan hanya Islam sajalah yang mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana indahnya mati di jalan Allah. Maka, hanya Islam sajalah yang bisa menunjuki jalan bagi manusia di mana pun di muka bumi ini, khususnya rakyat Indonesia, untuk keluar dari kemelut sosial, politik dan ekonomi yang tak pernah habisnya dihadapi manusia.
Dengan hadirnya buku ini, kita berharap petunjuk ke arah Indonesia yang lebih baik di masa depan mulai terterangi. Dan para pejuang Darul Islam diharapkan bersatu dan tidak lagi berpecah-belah. Penulis mengharapkan kritik, saran dan peringatan dari para pembaca. Selama penyusunan buku ini juga penulis banyak dibantu oleh Bapak Dr. Ahman Sya di Tasikmalaya yang telah meminjamkan bahan-bahan langka tulisan S.M. Kartosoewirjo. Juga kepada Nyonya Hajjah Endang Saifuddin Anshari, kepada Bapak Sardjana Kartosoewirjo serta kepada akhi Usep, akhi Syahrul, akhi Abdurrauf, akhi Anhar, akhi Haris Amir Falah, akhi Abdurrahman, akhi Rakhmat di Pontianak, akhi Jamaluddin di Kendari, akhi Ruli dan juga Bapak Maman Abdurrahman serta Profesor Ahmad Mansur Suryanegara. Kepada Imam Shalahudin serta Zulfikar Shalahudin.

Jakarta, 1 Muharram 1420 H.
17 April 1999 M.

 
DAFTAR ISI : 1 - 2 - 3 - 4 - 5 - 6 - 7 - 8 -